Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Featured Posts

Rabu, 05 Desember 2012

KULTIVASI MIKROALGA DALAM SKALA LABORATORIUM


KULTIVASI MIKROALGA DALAM SKALA LABORATORIUM
Kelompok : 3
Muhammad Idris, Lia Badriyah, Irwan Rudy Pamungkas, Muhammad Idris,
Isnaini Prihatiningsih, Khasanah Dwi Astuti

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK
Mikroalga adalah kelompok tumbuhan berukuran renik, diameternya antara 3-30 μm berupa tanaman thalus serta memiliki klorofil sehingga sangat efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk keperluan fotosintesis. Mikroalga berpotensi sebagai alternatif penghasil sumber energi baru dan terbarukan. Namun masih ada permasalahan yang muncul seiring dengan pengadaan mikroalga sebagai sumber energi terbarukan, yaitu proses kultivasi yang bisa dibilang memerlukan perhatian khusus. Proses kultivasi dimulai dari sterilisasi ruangan, sterilisasi alat, sterilisasi bahan, dan mulai kultivasi. Pada praktikum ini dilakukan kultivasi dengan empat mikroalga, yaitu Botryococcus braunii, Botryococcus sudeticus, Porphyridium cruentum, dan Scenedesmus vacuolatus. Dari hasil penelitian atau praktikum didapat kelimpahan tertinggi dari B. braunii adalah 22,033x106 sel/ml pada hari ke-3 dan terendah adalah 11,133x106 sel/ml pada hari ke-7. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga. Semakin meningkat suhu maka pertumbuhan mikroalga semakin meningkat, dan semakin menningkat pH maka pertumbuhan mikroalga akan menurun. Jurnal ini akan membahas perbandingan kelimpahan dari empat mikroalga yang dikultivasi; fase pertumbuhan mikroalga; dan pengaruh suhu, salinitas, dan pH terhadap kelimpahan sel mikroalga.

Kata kunci: Mikroalga, kultivasi, Botryococcus braunii, Botryococcus sudeticus, Porphyridium cruentum, dan Scenedesmus vacuolatus




1.             PENDAHULUAN
Laut merupakan bagian wilayah terluas yang melingkupi bumi. Di Indonesia khususnya 2/3 wilayahnya merupakan lautan, sehingga potensi yang ada pun besar, namun luasnya bagian ini tidak akan menghasilkan nilai apapun jika tidak dimanfaatkan secara maksimal. Salah satunya mikroalga. Mikroalga adalah kelompok tumbuhan berukuran renik, diameternya antara 3-30 μm berupa tanaman thalus serta memiliki klorofil sehingga sangat efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk keperluan fotosintesis. Mikroalga terdiri dari banyak spesies yang hampir semuanya adalah organisme akuatik (Sasmita et al, 2004). Dalam biomassa mikroalga terkandung bahan-bahan penting yang sangat bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat. Persentase keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis mikroalganya. Kandungan minyak yang terkandung dalam tubuh mikroalga bisa mencapai 70 % dari total berat kering (Kawaroe et al, 2010). Dari kandungan minyak inilah mikroalga memiliki potensi besar untuk dijadikan bahan baku biofuel. Namun sayangnya penelitian mengenai mikroalga ini masih sangatlah kurang. Oleh karena itu di mata kuliah Biologi tumbuhan laut ini dilakukan kegiatan kultivasi sampai pemanenan mikroalga.
Kultivasi merupakan langkah awal kegiatan praktikum kali ini, kultivasi menggunakan lima spesies. Dengan menggunakan aerasi, dengan penambahan pupuk dan pencatatan data kualitas air setiap harinya baik salinitas, suhu, dan pH. Setiap harinya dilakukan pengamatan jumlah kelimpahan mikroalga dengan menggunakan haemocytometer.
Kultivasi dengan aerasi tanpa penambahan apapun, dan disertai cahaya lampu dan dalam suhu ruangan yang dikontrol. Kultivasi ini lebih sederhana karena tidak menggunakan bahan lain seperti CO2 maupun penambahan air limbah dalam media kultivasinya.
Tujuan dilakukannya praktikum atau penelitian mengenai kultivasi mikroalga ini adalah untuk melihat perbandingan kelimpahan dari empat spesies mikroalga selama kultivasi, pengaruh suhu, salinitas, dan pH terhadap kelimpahan mikroalga. Sehingga harapan kedepan praktikum ini dapat menjadi modal dasar untuk mengembangkan mikroalga.

2.    METODOLOGI
2.1      Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 9 November 2012  hingga 21 November 2012 bertempat di Laboratorium Kultivasi Mikroalga, Lt.4 Ilmu dan Teknologi kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2      Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dicantumkan pada Tabel 1.
  Tabel 1 Alat dan Bahan
Alat dan Bahan
Unit
Erlenmeyer (2000 ml)
8 buah
Selang
8 buah
Batu pemberat
8 buah
Mikroskop
2 buah
Termometer
2 buah
pH meter
1 box
Air laut
6 liter
Air tawar
3 liter
Akuades
2 liter
Tisu
2 roll
Alkohol
2 botol
Gunting
1
Haemocytometer
1
Masker
5
Pipet tetes
10
Bibit mikroalga
4 spesies

Erlenmeyer digunakan untuk tempat kultur dan mikroskop digunakan untuk mengambil sample mikroalga saat penghitungan kelimpahan (pengambilan data), selang digunakan untuk aerasi. Termometer digunakan untuk mengukur suhu ruangan dan suhu media (kultur) mikroalga. Selain bahan yang tercantum dalam tabel, ada bahan tambahan yaitu pupuk sebagai nutrisi mikroalga agar tidak mati. Speies yang digunakan adalah Botryococcus braunii, Botryococcus sudeticus, Porphyridium cruentum, dan Scenedesmus vacuolatus.

2.3     Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian kultivasi mikroalga dalam skala laboratorium ditunjukan oleh Gambar 1.


Gambar 1. Diagram Alir Prosedur Penelitian

2.3.1    Sterilisasi Ruangan
Kegiatan sterilisasi ini dengan membersikan ruangan terlebih dahulu dari debu maupun partikel kotor lainnya dengan cara menyapu, mengepel ruangan yang akan dijadikan tempat kultivasi agar steril.

2.3.2    Sterilisasi Alat
Kegiatan sterilisasi ini dengan mencuci dengan deterjen atau sabun cuci lainnya, kemudian keringkan. Setelah kering semprotkan dengan alkohol.

2.3.3    Sterilisasi Bahan
Kegiatan sterilisasi dimulai dengan merebus masing-masing air laut dan air tawar sampai tepat mendidih, kemudian didinginkan setelah itu disaring.

2.3.4     Tahapan Kultivasi
Langkah awal yang dilakukan dengan menyiapkan masing-masing spesies dari Botryococcus braunii, Botryococcus sudeticus, Porphyridium cruentum, dan Scenedesmus vacuolatus. Kemudian dari masing-masing spesies tersebut diberikan media kultivasi yang berbeda tergantung tempat hidupnya, ada yang menggunakan air laut, ada juga yang menggunakan air tawar. Masukkan masing-masing inokulan dengan media air masing-masing 1,5 liter. Pastikan aerasi berjalan baik beserta suhu dan pencahayaan.

2.3.5    Perhitungan kelimpahan sel
Perhitungan kelimpahan sel mikroalga dari masing-masing Erlenmeyer pada penelitian dilakukan setiap hari.Perhitungan kelimpahan sel menggunakan Haemocytometer dan mikroskop. Kelimpahan mikroalga dihitung dengan menggunakan formula Improved Neubaeur Haemocytometer sebagai berikut:


(sel/ml) =   ……………… (1)

dimana:  N = jumlah sel mikroalga yang
         teramati

atas
bawah

Gambar 2. Perhitungan Kepadatan Mikroalga  pada Haemocytometer

3.      HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1     Perbandingan Kelimpahan Sel Mikroalga
Jenis mikroalga yang paling mudah dikultivasi adalah Botryococcus braunii dan Botryococcus sudeticus. Hal ini dibuktikan dengan tinginya kelimpahan sel mikroalga selama kultivasi (Gambar 3). Kelimpahan tertinggi dari B. braunii adalah 22,03x106 sel/ml pada hari ke-3 dan terendah adalah 11,133x106 sel/ml pada hari ke-7. Hal ini terjadi karena pada hari ke-3 merupakan fase dimana pertumbuhan sel mikroalga lebih besar dibanding laju kematian, pada kondisi ini mikroalga mengalami fase eksponensial. Sementara pada hari ke-7 merupakan fase kematian mikroalga sehingga laju kematian lebih tinggi dibanding laju pertumbuhannya.

Gambar 3. Grafik Kelimpahan Sel Mikroalga
Mikroalga jenis Scenedesmus vacuolatus dan Porphyridium cruentum memiliki kelimpahan yang jauh dibawah B. braunii dan B. sudeticus. Hal ini terjadi kemungkinan karena faktor media dan faktor lain. Media tanam (kultur) dari P. Cruentum dan S. Vacuolatus mengalami kontaminasi oleh mikroba lain. Faktor lain karena tingkat ketahanan mikroalga jenis P. Cruentum dan S. Vacuolatus rendah sehingga banyak terjadi kematian ketika sebelum dilakukan kultivasi. 

Gambar 4. Kelimpahan Sel Botryococcus Braunii
Terjadi peningkatan kelimpahan sel B. braunii pada hari ke-0 sampai hari ke-1 (Gambar 4) dengan kelimpahan mencapai 11,466x106 sel/ml, inilah yang disebut dengan fase lag pada pertumbuhan mikroalga. Selanjutnya mikroalga mengalami peningkatan kelimpahan secara drastis dimana sel mikroalga berproduksi dengan cepat dan mencapai 22,033x106 sel/ml. Hal ini terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-3 dan disebut fase eksponensial. Mulai hari ke-3 sampai hari ke-4 mikroalga mengalami penurunan pertumbuhan sampai 21,983x106 sel/ml. Pada tahap inilah terjadi fase transisional. Mulai hari ke-4 sampai hari ke-6 jumlah mikroalga yang mati hampir sama dengan jumlah produksi sel mikrkoalga. Pada tahap ini disebut fase stasioner. Selanjutnya mikroalga mengalami kematian massal dimana laju kematian sel mikroalga melebihi laju produksi yang terjadi pada hari ke-6 sampai hari ke-7 dan mikroalga yang tersisa adalah 11,133x106 sel/ml. Tahap ini disebut fase kematian.

Gambar 5. Kelimpahan Sel Scenedesmus Vacuolatus
Pertumbuhan mikroalga jenis S. vacuolatus berbentuk grafik sinus (Gambar 5). Hari ke-0 sampai hari ke-1 mikroalga mengalami kematian (laju kematian lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan). Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kurangnya pasokan nutrien ke dalam media tanam (kultur). Selanjutnya di hari ke-1 sampai hari ke-2 S. Vacuolatus mengalami peningkatan kelimpahan namun belum terjadi peningkatan secara drastis, karena mulai hari ke-1 dimasukkan nutrien ke dalam media. Pada tahap ini mikroalga mengalami masa (fase) lag. Kelimpahan sel S. vauolatus mencapai 0,467x106 sel/ml. Selanjutnya mikroalga mengalami fase eksponensial pada hari ke 2 sampai hari ke-4 dan mencapai kelimpahan sebesar 1,283x106 sel/ml. Pada tahap ini pertumbuhan mikroalga lebih besar dibanding tingkat kematiannya. S. Vacuolatus akan mengalami fase dimana tingkat produksi seimbang dengan tingkat kematian, yaitu fase stasioner, pada hari ke-4 sampai hari ke-5. Pada kondisi ini mikroalga sampai pada tingkat kelimpahan tertinggi, yaitu 1,4x106 sel/ml. Produksi S. Vacuolatus mengalami penurunan drastis dan tingkat kematian meningkat drastis pada fase kematian yaitu hari ke-5 sampai hari ke-7. 


Gambar 6. Kelimpahan Sel Porphyridium
           Cruentum
Porpyridium cruentum merupakan jenis mikroalga yang sulit dikultivasi. Karena P. cruentum sangat sensitif dan perlu ketelitian khusus agar mikroalga jenis ini bisa dikultivasi. Kelimpahan tertinggi sel P. cruentum ada pada hari ke-0 sebesar 2,967x106 sel/ml (Gambar 6). P.cruentum mengalami kematian yang sangat tinggi pada hari ke-0 sampai hari ke-1 dan hampir mendekati kelimpahan 0 sel/ml. Namun pada hari ke-1 sampai hari ke-2 mengalami peningkatan hingga 2x106 sel/ml. Hal ini terjadi setelah diberikan nutrien ke media tanam (kultur). Namun, kembali terjadi kematian pada hari ke-2 sampai hari ke-3. Pada hari ke-3 sampai hari ke-4 kembali terjadi peningkatan produksi. Namun, kembali lagi terjadi kematian pada hari ke-4 sampai hari ke-7 dan dipastikan pada tahap ini mikroalga mengalami fase kematian.
Gambar 7. Kelimpahan Sel Botryococcus  sudeticus
Botrycoccus sudeticus merupakan mikroalga yang tahan terhadap kondisi kekurangan nutrien dibanding S. vacuolatus dan P. cruentum. B. sudeticus mengalami fase lag pada hari ke-0 sampai hari ke-1 dengan kelimpahan mencapai 17,7x106 sel/ml pada hari ke-1. Pada hari ke-1 sampai hari ke-3 mikroalga mengalami kondisi yang kurang stabil (transisi) dimana tingkat produksi hampir sama dengan tingkat kematian. B. sudeticus mengalami peningkatan kelimpahan pada hari ke-3 sampai hari ke-6 (fase eksponensial). Selanjutnya mikroalga mengalami kematian yang tinggi pada hari ke-6 sampai hari ke-7 (fase kematian).

3.2     Pengaruh Suhu Terhadap Kelimpahan Sel Mikroalga
Faktor lingkungan sangat menentukan dalam kultur atau budidaya mikroalga. Salah satu faktor lingkungan yang perlu mendapat perhatian adalah suhu. Suhu akan mempengaruhi produksi dan pertumbuhan mikroalga. Pada dasarnya peningkatan suhu akan meningkatkan metabolisme dan meningkatkan produksi sel mikroalga. Namun, pengaruh suhu bergantung pada jenis mikroalganya sendiri. Pengaruh suhu terhadap kelimpahan mikroalga ditunjukkan pada Gambar 8.




Gambar 8. Grafik Hubungan Suhu Terhadap Kelimpahan sel Mikroalga Botryococcus braunii, Scenedesmus vacuolatus, Porphyridium cruentum, dan Bottryococcus sudeticus pada Hari ke-0 Sampai Hari ke-7.



Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin menurunnya suhu akan menurunkan produktivitas mikroalga. B. braunii dapat tumbuh secara optimum ketika suhu media (lingkungan) juga optimum, yaitu 20-25oC. S. vacuolatus tumbuh secara optimum pada suhu 22-25oC. P. cruentum tumbuh secara optimum pada suhu 22-26oC. Sementara B. sudeticus dapat tumbuh secara optimum pada suhu 22-24oC. Hal unik yang terjadi adalah ketika suhu menurun pada fase lag, justru tingkat produksi mikroalga meningkat. Ketika suhu media menurun pada hari ke-0 sampai hari ke-2 justru pertumbuhan mikroalga meningkat. Berbeda dengan S. vacuolatus yang pertumbuhannya menurun mengikuti penurunan suhu sampai hari ke-2. Mungkin pada fase lag, suhu tidak begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga. Pada fase-fase selanjutnya pertumbuhan mikroalga bergantung pada suhu.
Grafik B. braunii dan B. sudeticus menunjukkan hubungan yang jelas antara suhu dengan kelimpahan. Pola pertumbuhan kedua spesies tersebut mengikuti pola perubahan suhu. Ketika suhu menurun pada hari ke-2 sampai hari ke-3 maka kelimpahan B. sudeticus juga menurun. ketika mengalami peningkatan suhu pada hari ke-5 sampai hari ke-6 maka kelimpahan sel B. sudeticus juga meningkat.

3.3     Pengaruh pH Terhadap Kelimpahan Sel Mikroalga
Perbedaan jenis mikroalga akan memiliki perbedaan pH optimal agar mikroalga mampu berkembang. Kisaran pH optimum sangat tergantung pada jenis mikroalganya. Mikroalga jenis Chlorella memiliki kerapatan sel tertinggi pada pH 7 dan terendah pada pH 5 (Prihatini, 2005). Pengaruh pH terhadap mikroalga jenis B. braunii, B. sudeticus, P. cruentum, dan S. vacuolatus dapat dilihat pada Gambar 9.



Gambar 9. Grafik Hubungan pH Terhadap Kelimpahan sel Mikroalga Botryococcus braunii, Scenedesmus vacuolatus, Porphyridium cruentum, dan Bottryococcus sudeticus pada Hari ke-0 Sampai Hari ke-7.



pH optimum B. braunii berkisar pada 6-7,5. Pada dasar pH berpengaruh terhadap kandungan CO2. Semakin meningkat pH maka kandungan CO2 juga akan meningkat. Seiring dengan meningkatnya kandungan CO2 maka produksi mikroalga akan menurun. Karena dengan meningkatnya CO2 akan meningkatkan ion HCO3- di perairan. Ion ini bersifat racun dan dapat mematikan sel mikroalga. Ketika pH pada B. braunii mulai menurun pada hari ke-2 pertumbuhan meningkat. Sementara ketika pH mulai meningkat pada hari ke-3, pertumbuhan berhenti dan kelimpahan sel menurun. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh S. vacuolatus ketika pH mulai konstan pada hari ke-2 sampai hari ke-4, pertumbuhan S. vacuolatus meningkat. Ketika pH mulai meningkat pada hari ke-5, pertumbuhan menurun.
pertumbuhan mikroalga selain dipengaruhui oleh suhu, juga dipengaruhi oleh pH. Kisaran pH optimum dari setiap spesies mikrkoalga tergantung dari jenis spesiesnya sendiri karena setiap spesies memiliki daya tahan yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan. B. braunii memiliki pH optimum antara 6-7,5. S. vacuolatus memiliki pH optimum 7, P. cruentum memiliki pH optimum 7, dan B. sudeticus memiliki pH optimum 7.

3.4     Pengaruh Salinitas Terhadap Kelimpahan Sel Mikroalga
Salinitas juga memiliki pengaruh terhadap produktivitas mikroalga. Salinitas akan mempengaruhi kandungan air yang terdapat di dalam sel mikroalga. Ketika salinitas media tinggi (diatas batas normal) dan tidak bisa ditolerir maka kandungan air di dalam mikro alga akan keluar dan membuat mikroalga mati. Kisaran salinitas optimum setiap mikroalga berbeda-beda, hal ini kembali dikarenakan tingkat ketahanan setiap mikroalga terhadap perubahan lingkungan.



Gambar 10. Grafik Hubungan Salinitas Terhadap Kelimpahan sel Mikroalga Botryococcus braunii, Scenedesmus vacuolatus, Porphyridium cruentum, dan Bottryococcus sudeticus pada Hari ke-0 Sampai Hari ke-7.



B. braunii memiliki salinitas optimum 15‰ (Gambar 10). Ketika salinitas menurun dari sekitar 35‰ sampai 15‰ pertumbuhan B. braunii meningkat. Selannjutnya salinitas hampir konstan dan pertumbuhan konstan sampai pada akhirnya B. braunii memasuki fase kematian pada hari ke-6. Berbeda halnya dengan S. vacuolatus yang pertumbuhnannya sejalan dengan pola perubahan salinitas. Ketika salinitas menurun pada hari ke-1, kelimpahan mikroalga ikut menurun. ketika salinitas meningkat pada hari ke-2 sampai hari ke-4, kelimpahan sel mikroalga ikut meningkat. Berbeda lagi dengan P. cruentum yang pertumbuhan selnya berlawanan dengan perubahan salinitas. Ketika salinitas menurun, pertumbuhan meningkat, begitu pula sebaliknya. B. sudeticus juga memiliki pola yang sama dengan S. vacuolatus.
Jadi kondisi salinitas optimum setiap spesies dapat berbeda-beda. S. vacuolatus memiliki salinitas optimum antara 0-10 ‰, B. sudeticus memiliki salinitas optimum antara 2-5 ‰. Berbeda dengan B. braunii yang memiliki salinitas optimum antara 12-20 ‰ dan P. cruentum yang memiliki salinitas optimum 40-42 ‰.

4.      KESIMPULAN
Mikroalga jenis B. braunii lebih mudah mudah dikultivasi. Kelimpahan tertinggi B. braunii mencapai 22,033x106 sel/ml dan terendah adalah 11,133x106 sel/ml. Kelimpahan tertinggi S. vacuolatus mencapai 13,333x106 sel/ml dan terendah mencapai 0,383x106 sel/ml. Kelimpahan tertinggi P. cruentum mencapai 2,966x106 sel/ml dan terendah mencapai 0 sel/ml. Kelimpahan tertinggi B. sudeticus mencapai 60,65x106 sel/ml dan terendah mencapai 17,7x106 sel/ml.
B. braunii dapat tumbuh secara optimum ketika suhu media (lingkungan) juga optimum, yaitu 20-25oC. S. vacuolatus tumbuh secara optimum pada suhu 22-25oC. P. cruentum tumbuh secara optimum pada suhu 22-26oC. Sementara B. sudeticus dapat tumbuh secara optimum pada suhu 22-24oC.
B. braunii memiliki pH optimum antara 6-7,5. S. vacuolatus memiliki pH optimum 7, P. cruentum memiliki pH optimum 7, dan B. sudeticus memiliki pH optimum 7. S. vacuolatus memiliki salinitas optimum antara 0-10 ‰, B. sudeticus memiliki salinitas optimum antara 2-5 ‰. Berbeda dengan B. braunii yang memiliki salinitas optimum antara 12-20 ‰ dan P. cruentum yang memiliki salinitas optimum 40-42 ‰.

DAFTAR PUSTAKA
Kawaroe et al. 2010. Mikroalga Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. Bogor: IPB Press.
Prihantini B. N, Putri B, Yuniati R. 2005. pertumbuhan chlorella spp. dalam medium ekstrak tauge (met) dengan variasi ph awal. makara, sains, vol. 9, no. 1, Hal: 1-6.
Sasmita et al. 2004. Pengembangan Teknik Ultrafiltrasi untuk Pemekatan Mikroalga. [Prosiding Seminar]. Semarang: jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.



























LAMPIRAN
1.        Data
Ø  Botryococcus braunii
Hari
ke
Kelimpahan
(x 106  sel/ml)
STDEV
Suhu
(°C)
Salinitas
(‰)
pH
0
11,46666667
46,91836883
29
6
15
1
13,26666667
121,6155144
29,5
6
34
2
17,91666667
61,69548876
24
6
14
3
22,03333333
128,3134184
23
6
15
4
21,98333333
43,03874224
23
7
15
5
21,650000
37,04051835
21
8
15
6
21,450000
65,04613747
24
7
19
7
11,13333333
20,0083316
23
7
20

Ø  Scenedesmus vacuolatus
Hari
ke
Kelimpahan
(x 106  sel/ml)
STDEV
Suhu
(°C)
pH
Salinitas
(‰)
0
0,8833333333
14,571662
28
6
5
1
0,3833333333
6,429100507
29,5
6
11
2
0,4666666667
7,094598885
24
7
2
3
0,9333333333
24,94660966
24
7
3
4
1,283333333
9,712534856
24
7
18
5
1,333333333
15,011107
21,5
7
2
6
0,5666666667
2,516611478
25
8
2
7
0,4166666667
7,571877794
23
7
2

Ø  Porpyridium cruentum
Hari
ke
Kelimpahan
(x 106  sel/ml)
STDEV
Suhu
(°C)
pH
Salinitas
(‰)
0
2,96666667
23,43786111
29,5
7
36
1
0
0
32
7
54
2
2,050000
35,51056181
25
7
40
3
0,116666667
1,154700538
24,5
7
41
4
0,6
13,22875656
23
7
40
5
0,3
4,582575695
22
8
41
6
0,0166666667
0,577350269
26
8
41
7
0,0666666667
1,154700538
24
7
43




Ø  Botryococcus sudeticus
Hari
ke
Kelimpahan
(x 106  sel/ml)
STDEV
pH
Suhu
(°C)
Salinitas
(‰)
0
17,7
62,35382907
6
28,5
1
1
18,15
11,26942767
6
30
2
2
38,35
12,50333289
6
23
3
3
22,35
77,14920609
6
23
5
4
25,2
56,34713835
7
23
4
5
29,25
51,85556865
7
21
2
6
60,65
344,611859
7
25
3
7
30,55
68,73378597
7
23
3

2.        Foto Kultivasi
Ø  Sterilisasi alat

Ø  Persiapan bibit mikroalga

Ø  Proses Kultivasi



Ø  Pengamatan harian